GfMiGpWoGSO9BUM8BUOlGpC5BA==

Rekonsiliasi Partai Politik dan Pertimbangan Kekuatan Sangat Penting untuk Membangun Bangsa

Rekonsiliasi Partai Politik dan Pertimbangan Kekuatan Sangat Penting untuk Membangun Bangsa
Penulis: Sanwinoma.

REPUBLIKINDONESIA.NET - Rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menjadi hal yang sangat penting, terlebih untuk mewujudkan visi negara, yakni sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk menjadikan bangsa ini merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Dalam rangka mewujudkan seluruh visi negara tersebut, jelas tidak akan bisa dengan optimal apabila ternyata masyarakat di dalamnya belum mampu bersatu. Selain itu, visi negara juga tidak akan mampu terwujud dengan baik jika tidak terjadi rekonsiliasi antar pihak pasca pelaksanaan Pemilu.

Adapun Prabowo dengan gencar merangkul pihak yang berseberangan dengannya dalam Pemilu 2024 kemarin. Sebagai presiden terpilih Prabowo mengajak seluruh pihak untuk bersatu kembali setelah pemilu. Setidaknya sebelum dilantik pada Oktober mendatang terdapat sisa waktu enam bulan bagi Prabowo untuk merangkul berbagai pihak untuk masuk dalam koalisi pemerintahannya.

Mengapa Prabowo-Gibran harus mengajak parpol lain?

Kekuatan suara dari akumulasi parpol pendukung Prabowo-Gibran berdasarkan hitung cepat berada di kisaran 42-43%.

Partai politik yang memberi tiket kontestasi Pilpres 2024 pada Prabowo-Gibran yang berasal dari parlemen adalah Gerindra, Golkar, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Selain itu, ada juga empat partai non-parlemen yaitu Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora Indonesia, Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Garuda.

Lainnya, satu partai lokal Partai Aceh, dan partai non-partisan Pemilu 2024 yaitu PRIMA.

Dengan kondisi ini, koalisi Prabowo-Gibran memungkinkan untuk mencomot partai politik lain yang saat ini masih mengusung pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud untuk bergabung di pemerintahan.

Tujuannya, agar pemerintahan Prabowo-Gibran bisa “mengamankan kekuatan politik di parlemen supaya kebijakan politiknya tidak mendapat resistensi”.

“Prabowo memang punya ambisi yang besar untuk mengajak semua elemen partai politik bergabung dalam pemerintahan yang akan dia pimpin nantinya. Sikap ini selaras dengan narasi persatuan yang ia gaungkan selama pemilu berlangsung. Prabowo juga ingin program maupun kebijakan pemerintahan kedepan bisa disupport oleh parlemen yang merupakan representasi partai politik.” kata Direktur Eksekutif Partner Politik Indonesia Abubakar Solissa saat dihubungi pada Rabu (12/6/2024).

Selain itu, menurutnya, Prabowo tidak ingin disandera oleh partai-partai yang mendukungnya di pilpres kemarin. Untuk itu, dia butuh tambahan partai dari luar koalisi Indonesia Maju untuk memperkuat positioning politiknya selama lima tahun kedepan.

Fenomena rekonsiliasi politik pasca penetapan pasangan calon presiden-wakil presiden sudah lazim dalam perpolitikan Indonesia. Pasangan terpilih tentunya menginginkan harmonisasi dalam pemerintahannya ke depan.

Namun kendalanya bagi Prabowo-Gibran tetap bertemu dengan Megawati Sukarnoputri dan elite Partai Demokrat. Sebab, Megawati dan Partai Demokrat masih dirugikan dengan taktik politik Presiden Joko Widodo dan Gibran.

Hitung-hitungan politik PDIP

Dinamika yang terjadi dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-Perjuangan pada akhir pekan dinilai menunjukkan “isyarat kuat” bahwa partai tersebut akan menjadi oposisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menurut sejumlah pakar politik.

Tapi mengapa PDIP belum mengumumkan sikap partainya secara resmi dan tegas?

Menurut Abubakar Solissa, sikap politik PDIP sejauh ini masih ambigu. Belum terlihat positioning politiknya akan menjadi partai oposisi atau bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran paska pelantikan 20 Oktober mendatang.

Kalau kita simak pidato Ketua Umum Megawati Soekarnoputri di acara penutupan Rakernas partai pada Minggu (26/2024) yang lalu, PDIP kemungkinan besar masih berhitung soal posisi yang akan diambil nantinya. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri menyatakan sikap partainya soal akan berada di dalam atau di luar pemerintahan “harus dihitung secara politik”.

“Loh enak ae kalau menit ini saya ngomong, kan harus dihitung secara politik,” kata Megawati dalam pidato penutupan Rakernas PDIP di Jakarta pada Minggu (26/05) sambil menyinggung soal banyak pihak yang menantikan sikap politik partainya.

Hitung-hitungan politik yang dimaksud oleh Megawati bukan semata soal kursi kekuasaan. PDIP juga akan mempertimbangkan bagaimana fungsi kontrol dan penyeimbang akan berjalan di pemerintahan selanjutnya. 

Oleh karena itu, PDIP tidak mau buru-buru menentukan sikap karena menyadari keputusan mereka sangat penting bagi siapa pun yang akan menyusun pemerintahan ke depan.

Namun, Abubakar Solissa memprediksi bahwa rasa-rasanya sulit sekali bagi Megawati dan PDIP untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan. Secara politik juga, posisi PDIP diluar pemerintahan akan sangat menguntungkan partai di Pemilu 2029 mendatang ketimbang menjadi bagian dari pemerintahan. 

Apa konsekuensi jika PPP, PKB dan Nasdem merapat ke kubu Prabowo-Gibran?

Sejauh ini, beberapa partai dari luar koalisi pengusung Prabowo-Gibran, yaitu Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah menyatakan akan bekerja sama dan mendukung pemerintahan keduanya di antaranya Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jika sudah bersifat resmi, Prabowo-Gibran bakal menjadi kekuatan mayoritas di Senayan.

Partai Nasdem dan PKB sebelumnya berseberangan dengan Prabowo-Gibran. Hal itu menandakan bahwa adanya pengakuan atas kemenangan Prabowo-Gibran dari lawan politiknya di Pilpres 2024.

 “Masuknya PKB dan Nasdem secara politik bisa memperkuat posisi pemerintahan di parlemen karena pasti kebijakan-kebijakan Prabowo-Gibran di DPR tidak akan mengalami hambatan yang berarti dikarenakan mayoritas partai politik telah bergabung,” ujar Abubakar Solissa, “Khusus untuk PPP saya melihat tidak terlalu signifikan pengaruhnya bila diajak bergabung karena partai ini juga tidak punya kursi di parlemen usai dinyatakan tak lolos ambang batas parlemen di Pileg 2024.”

Kalau begini, tenis politik akan turun. Masyarakat akan semakin dewasa. Serang-menyerang di medsos diharapkan akan hilang. Kita kembali bersatu untuk kepentingan masyarakat.

Namun, yang patut dipikirkan lebih besar tentu risikonya terhadap demokrasi di Indonesia. Abubakar Solissa juga menilai bahwa banyaknya partai dalam pemerintahan tidak sehat untuk demokrasi Indonesia. Pemerintahan itu akan berjalan efektif jika mekanisme checks and balances juga berjalan.

Oleh karena itu, pemerintahan Indonesia tidak hanya perlu mendorong rekonsiliasi partai-partai politik, kita juga perlu memperhatikan pertimbangan kekuatan. Intinya ke depan demokrasi Indonesia tetap membutuhkan partai di luar pemerintahan agar mekanisme check and balances bisa tetap berjalan bersama kekuatan masyarakat sipil demi memastikan system tetap terkonsolidasi.

Advertisement
Advertisement
Dapatkan berita Republik Indonesia terkini viral 2024, trending terbaru, serta terpopuler hari ini dari media online RepublikIndonesia.net melalui platform Google News.

Ketik kata kunci lalu Enter

close